Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2013

"... untuk Sebuah Pelampiasan"

Ku pandangi hamparan luas itu Langkahku semakin cepat menuju tepi Membawa semua perasaan yang mengganggu Ketakutan, kegelisahan yang selalu mengejar kebahagiaan... Akan ku buang semua rasa yang selalu ingin merebut kebahagiaanku... Akan ku tenggelamkan semua bayangan menyakitkan itu Kuteriakkan semua yang menggangu pada sang ombak dan membiarkannya menghantamku  keras-keras... Itulah caraku memanfaatkan waktu untuk sebuah pelampiasan... -Dan aku membawa rasa ketakutan, kegelisahan... berharap mendapatkan sebuah kepastian- -sil-

Sengaja Kutinggalkan di Jogja

Part II Aku memang pernah memutuskan untuk mengunggu. Tapi itu dulu. Kini aku memutuskan untuk mengakhiri penantianku. Karena sudah tidak ada lagi yang perlu untuk dinanti. Dan tidak ada yang memintaku untuk tetap tinggal. Aku yakin meninggalkan sebuah keputusan penantianku. Meskipun aku belum yakin sepenuhnya semua perasaan ini benar-benar sudah hilang. Aku takut suatu saat nanti semua perasaan itu menghampiriku dan menghalangiku lagi. Tapi aku harus pergi. Urusan itu nanti dulu. Ya, sekarang sudah waktuku untuk pergi. Dan malam ini, aku sudah melangkah beberapa langkah. Perasaan itu sudah tidak menggangguku lagi. Aku tetap fokus pada keputusanku untuk pergi dan fokus untuk tetap mengubur dan melupakan semua luka serta perasaan itu. Semoga tidak ada yang menghalangiku atau menghambat usahaku untuk mengubur dan melupakan itu. Dan bila semua itu kembali untuk menghambat atau menghalangiku, aku berharap aku tetap bisa bertahan. Semoga… Selamat tinggal. -sil-

Sengaja Kutinggalkan di Jogja

Part I           Dan malam itu, di kota dengan pariwisata dan adat yang masih tertanam. Jogja. Sengaja aku tinggalkan semua perasaan yang mengganggu. Sengaja aku ungkapkan semua yang menghambatku untuk bangkit.           Malam itu tepat di Jogja. Tuhan memberikan waktuNya menjawab doaku. Kita berdua, dipertemukan dalam waktu yang sudah ditetapkan. Jalan berdampingan, berbincang meskipun tidak untuk bersenda tawa. Tapi akalku. Hatiku tidak menginginkan mataku menatapmu. Tidak sama sekali. Aku hanya tidak ingin menghambat diri sendiri.           Dari dulu yang kubutuhkan juga adalah kepastian.           Malam itu Jogja jadi saksi. Dan entah, tak ada perasaan sakit yang kurasakan mulai awal kita berbincang hingga akhirnya aku pergi dengan senyuman yang tetap tidak paham dengan kalimatmu. Tidak dengan tatapan pula.           Mungkin perasaan ini memang sudah terbawa bersama ombak dan tenggelam dalam lautan saat itu. Malam itu adalah akhir dari penantianku terhadap sebuah kepast