Postingan

Mengemas Masa Lalu

 Angin malam berbisik menghembuskan dingin Kubiarkan pori-poriku menerima, membuat bulukuduku berdiri. Siapa sangka, malam ini membawa kenangan-kenangan itu, menari-nari membentuk kolase, kasar dan rata bak kenangan kami. Ketika hati sudah memaksakan untuk ikhlas Kenangan itu menyuburkan harapan, membangkitkan serpihan cinta yang telah dipaksa mati. Mati karena keraguan Pengabaian itu membuatku ragu terhadap segala upayaku. Ketika semua terlihat jelas, aku tersadar. Kolase itu harus segera dikemas. Malam ini dengan hati yang berat, keputusan untuk kebaikanku, aku mengemas masa lalu. Kotak kecil dengan segala hal tentangmu tertutup rapat. Sudah. Cukup. Aku siap untuk hari ini dan esok. -Sil-

Kesempatan yang dinanti

Satu tahun sudah. Harapan dan keinginan itu akhirnya datang. Menjadi perantauan kembali setelah satu tahun mencari sesuatu di Kota sendiri; tak kunjung kutemukan hingga aku lupa dengan diri. Menjadi begitu terpuruk, merasa begitu kecil daripada masalah, merasa begitu tak berguna, semua selalu kurasakan selama satu tahun ini setiap bulan. Fase up  dan down  selalu datang dan pergi. Kini, Ibukota telah kujajaki. Aku meninggalkan kotaku dan keluargaku. Untuk mendapatkan hal-hal yang tidak akan membuatku menyesal nantinya. Saat itu, tidak ada rasa sedih meninggalkan kotaku, semangatku terlalu menggebu untuk segera mencicipi kerasnya Ibukota (kata mereka). Dua bulan sudah aku hidup dengan hiruk pikuknya Ibukota meskipun tempat tinggalku tidak di Ibukota langsung. Dua bulan sudah aku berada di antara orang-orang (yang katanya) munafik karena berani mengorbankan kepercayaan kerabat demi sebuah ekonomi yang lebih baik. Hal-hal luar biasa yang kulihat selama aku menikmati

Cinta Pertama Anak Perempuan

5 Juli 2019 Langit mulai memancarkan garis merahnya. Hari telah pagi, namun dingin masih membekas pada pori-pori kulit. Pagi itu, pukul 05.15 WIB di stasiun kecil sudah begitu ramai penumpang menanti keretanya tiba. Hampir semua kursi di ruang tunggu pagi itu penuh. Beberapa penumpang diantar oleh kerabatnya. Beberapa dari penumpang itu pergi untuk beradu nasib di kota lain, meninggalkan kerabatnya. Beberapa orang pergi untuk bertemu seseorang yang dirindukannya; aku. Bagi yang ingin melepas rindu, tak sabar untuk segera berangkat. Bagi yang sedang melepas kepergian, tak ingin kereta cepat datang. 05.29 WIB.  Waktu itu tertera pada tiket keretaku. Ah, masih sembilan menit lagi. Mataku ingin tidur, ngantuk. Udara dingin pagi itu. Semoga cuaca hari ini cerah. Melamun memang hal nikmat di kala ngantuk melanda. Tiba-tiba, ada yang mengganggu lokasi lamunanku. Di depanku, sekitar 4 meter dariku. Ada seorang anak perempuan berusia sekitar 10-12 tahun. Dia menari-na

Sabtu Sore di Alun-Alun Kota

Hangat matahari sabtu sore itu membuat wajahku menjadi elok di depan kamera handphone. Siapa yang tak mengakui, cahaya matahari memang luar biasa di kala ingin ber-selfie ria. Sore itu, kami menikmati sabtu sore ala anak pecinta alam tapi versi alam kota. Tidak pergi ke mall, hanya bepergian menikmati taman kota di tengah kemacetan sabtu sore. Di kotaku, tidak ada pemandangan alam semacam pantai atau bukit-bukit tinggi. Kami duduk di tengah taman alun-alun. Teriakan anak-anak kecil menikmati permainan ayunan pun terdengar nyaring dan menggemaskan. Hangatnya sore itu membawa kami ke dalam percakapan serius. Mengungkit masa lalu. Membiacarakan proses kami hingga menjadi saat ini. Hal kecil namun begitu bermakna. Sesekali kami berpindah tempat, ikut menikmati permainan ayunan. Bercanda, melakukan hal-hal konyol sesekali. Bahkan mengetahui hal yang belum pernah kuketahui, awal mula bagaimana dia tiba-tiba jatuh hati padaku. Aku hanya tertawa tidak percaya. Kemudian seseka

Apa Rumus Rindu?

Jika rindu itu seperti rumus fisika v = s/t, memilikii satuan m/s. Namun, apakah rindu memiliki satuan? Bahkan diri sendiri tidak paham. Jika semakin cepat waktu yang digunakan oleh jarak tempuh seseorang, semakin cepat tingkat kecepatan yang diperlukan. Jika jarak dan waktu adalah sebuah faktor rindu, apakah rindu memiliki rumus pemecahannya? Semakin cepat waktu berkompromi, sejauh apapun jarak menghalangi, semakin cepat rindu akan terobati. Sebuah rindu tidaklah rumit. Tidak semacam rumus fisika. Sebuah rindu memiliki pemecahan dalam satu kata, pertemuan. Jika rindu, segeralah bertemu. Meski hanya dalam doamu. -12.06.19-

Ramadan Berganti Syawal

Ramadan berakhir. Sudahkah diri memanfaatkan Ramadan untuk memohon ampun? Sudahkah diri memanfaatkan Ramadan untuk berserah diri? Sudahkah Ramadan digunakan untuk hal kebaikan? Sudahkah Ramadan digunakan untuk semakin mendekatkan diri kepadaNya? Sudahkah kita, memanfaatkan Ramadan tahun ini dengan mengupgrade iman? Ramadan berganti Syawal. Masih kuatkah iman? Adakah peningkatan? Atau penurunan 'upgrade'? Ya Rabb, moon ampun atas keserakahan dan lupa diri kami. PadaMu, kami mohon ampun. Jaga iman kami padaMu. Aamiin.

Hari ke-136

Terhitung seratus tiga puluh enam hari semenjak aku selesai merantau di kota kecil selama empat bulan itu. Selama seratus tiga puluh enam malam, rata-rata aku habiskan waktuku sehari penuh di dalam sebuah ruangan berukuran tiga kali tiga setengah meter ini. Dengan udara panas khas musim kemarau, malam ini begitu menampar diri pengangguran tak tahu diri ini. Kipas angin berputar di volume satu, tak terasa angin sama sekali. Dua hari ini mengeluh karena udara panas. Begitu pun orang di kota ini. Ruangan ini memiliki fentilasi kecil dan beratap yang bersebelahan dengan asbes. Ah, panasnya gila. Selama seratus tiga puluh enam hari, rata-rata dihabiskan menatap atap putih dan dinding berwarna biru laut. Terkadang ditemani suara televisi yang sengaja dinyalakan agar tidak begitu sunyi. Terkadang aplikasi youtube pun menyala dari telepon genggam atau bertelepon dengan teman-teman meskipun televisi sedang menyala. Zaman millenial , orang bilang. Internet memang menjadi barang candu bagi