Hari ke-136
Terhitung seratus tiga puluh enam hari semenjak aku selesai merantau di
kota kecil selama empat bulan itu. Selama seratus tiga puluh enam malam,
rata-rata aku habiskan waktuku sehari penuh di dalam sebuah ruangan berukuran
tiga kali tiga setengah meter ini. Dengan udara panas khas musim kemarau, malam
ini begitu menampar diri pengangguran tak tahu diri ini.
Kipas angin berputar di volume satu, tak terasa angin sama sekali. Dua hari
ini mengeluh karena udara panas. Begitu pun orang di kota ini. Ruangan ini
memiliki fentilasi kecil dan beratap yang bersebelahan dengan asbes. Ah, panasnya gila.
Selama seratus tiga puluh enam hari, rata-rata dihabiskan menatap atap
putih dan dinding berwarna biru laut. Terkadang ditemani suara televisi yang
sengaja dinyalakan agar tidak begitu sunyi. Terkadang aplikasi youtube pun menyala dari telepon genggam
atau bertelepon dengan teman-teman meskipun televisi sedang menyala. Zaman millenial, orang bilang. Internet memang
menjadi barang candu bagi masyarakat saat ini. Sama sepertiku. Namun, selama 4
bulan ini aku sadar bahwa salah satu aplikasi kesukaanku, instagram membawa dampak tidak baik bagiku. Entahlah, mungkin
karena semakin banyak dari mereka yang terlalu berlebihan memamerkan apa yang
mereka lakukan, dapatkan, dan sebagainya. Warganet dari twitter berpendapat bahwa instagram
merupakan ajang pamer, bertopeng, dan tak mampu diajak bercanda. Tapi bagiku,
tidak semua begitu.
Hari ini, hari ke-seratus tiga puluh enam. Bosan, jenuh, dan sepi semakin
menjadi satu. Benar-benar pekat, tak terpisah. Tidak ada yang kulakukan hari
ini. Hanya sekadar membeli tiket kereta ke kota tempat aku berkuliah dan pulang
ke rumah dengan membeli dua bungkus es tebu kesukaanku, untuk menambah mood. Mendapat tamparan tak terduga dari
teman dekat di siang hari. Dia memenangkan lomba menulis artikel di salah satu
web dengan konten yang mengagumkan, aku bangga. Dia bilang, iseng berhadiah. Satu
tamparan bagiku secara halus darinya, “freelance penulis sil, coba aja. Kan kamu
juga pinter nulis.” Aku menulis karena hobby, jawabku. Aku pernah memikirkan
itu sebelumnya tapi tidak kulakukan. Karena aku tidak pandai menulis. Bukan sering
melatih, malah memilih menyerah tidak melakukannya. Hanya menulis jika ingin dan
ada mood saja. Pemalas!
Acara televisi kesukaanku sudah bersambung. Aku buka salah satu aplikasi
di telepon genggamku, youtube. Ada video
terbaru dari anak artis berumur 3 tahun yang menggemaskan. Video habis dalam
menit kelima belas detik kedelapan. Gerik ibu jari kananku bergerak menuju menu
Home dalam layar telepon. Menyentuh aplikasi
lainnya, instagram. Berpikir sejenak,
log in atau tidak, menyiapkan mental
untuk melihat postingan mereka yang rata-rata penuh dengan ajang pamer harta
gono gininya. Rasanya, ibu jari kanan ini begitu tidak sabar untuk menyentuh
postingan mereka. Salah satu teman yang memang tidak akrab memposting foto khas
out of the day yang keren, mengenakan
seragam kantornya dengan caption yang begitu menampar diri ini. Ragu, membuka
story instagram atau tidak. Ada dua teman akrab yang sedang memposting
storynya, depan sendiri ibarat “recommended
for you”. Melihat mereka begitu bahagia berkumpul dengan teman-temannya di
salah satu café atau bahkan restoran dengan menu enak (bagiku). Ya Allah, aku
rindu berkumpul dengan sahabat-sahabatku, aku rindu bertukar pikiran hingga
bercanda dengan sahabat-sahabatku, aku rindu bertemu orang-orang baru.
Dalam sehari, empat tamparan halus untukku. Seketika hati begitu
ringkih, diri ini malu. Apa yang aku miliki? Apa yang sudah aku hasilkan? Apa yang
bisa aku banggakan? Sudah kemana saja aku selama ini? Aku belum memiliki
apa-apa. Aku belum menghasilkan apapun. Tidak ada satu pun yang aku banggakan
hingga hari ke-seratus tiga puluh enam ini. Ya, aku masih disini. Aku belum ‘kemana-mana’.
Mereka sudah ‘kemana-mana’. Aku, masih berdiam diri disini. Berjalan di tempat,
tidak ada proses apapun. Tidak ada progress
apapun yang kuselesaikan. Belum ada panggilan kerja satu pun, sedangkan
beberapa orang baru melamar satu hingga sepuluh lamaran sudah bekerja. Beberapa
orang lain mendapatkan pekerjaan melalui keuntungan dari memiiliki relasi yang
baik.
Astaghfirullah…
Laa ilaahaillallahu…
Ampuni aku, ya Rabb. Maafkan aku selalu mengeluh
dan tidak pernah bersyukur atas nikmat yang Kau berikan. Ampuni aku, ampuni
aku, kumohon, dan tabahkanlah hatiku.
Salah jika bersedu sedan melihat
kesenangan orang lain. Setiap orang sudah memiliki rejeki masing-masing. Salah jika
harus membanding-bandingkan dalam hal keberuntungan yang mereka dapatkan. Bukankah
aku tidak tahu, bisa saja di balik itu semua ada kesusahan dan kesedihan yang
mereka hadapi, namun mereka hanya memposting sisi bahagianya saja. Setiap orang
memiliki zona waktu masing-masing. Hari ke-seratus tiga puluh enam ini adalah
zona waktuku menikmati masa-masa penguatan mental diri ini. Teringat apa yang
pernah dikatakan ayah sewaktu aku tak tahan menahan kejenuhan ini, aku harus
bersabar, jangan berprasangka buruk padaNya, dekatkan diri denganNya, Dia sudah
memiliki rencana tersendiri bagiku, jangan berputus asa. Mungkin, di hari ke
sekian (entah sampai hari ke berapa), Allah memberikan zona waktu yang kutunggu
selama ini. InsyaAllah.
Bismillah…
Komentar
Posting Komentar