Rindu di Dalam Doa


Pare, 17 Juli 2018



Ingin memaki jarak ketika rindu begitu menampar rasa.
Teringat, siapakah aku.
Ingin melepaskan dan menyerah,
namun ternyata begitu luar biasa aku sejauh ini bertahan.
Akibat terlalu sering bersama, jadi berat melepaskan.
Akibat terlalu sering bergantung, jadi begitu berharap selalu dengannya.

     Bagi setiap orang mungkin aku begitu bodoh. Bertahan pada ketidakpastian. Bertahan terhadap rasa yang bergantung tak berarah. Tidak satu atau dua hari aku memikirkan hal ini. Setengah dari waktu kami bersama, aku selalu memikirkan segala tentang kami. Tentang masa depan. Dia kah yang Tuhan berikan? Bukan diakah yang Tuhan berikan? Selama kami bersama, siapa yang sering berjuang? Siapa yang lebih bertahan dari rasa sakit dari sebuah “egois”? Aku tak mampu, namun aku ingin tetap bertahan. Tidakkah itu cukup? Orang bilang, cinta itu jalan berdampingan. Berjuang bersama-sama. Jadi siapakah di antara kami yang berjuang? Jadi, siapakah di antara kami yang begitu terluka? Aku piker tidak perlu membandingkan seberapa besar perjuangan dan luka yang diberikan. Bukankah cinta memang harus menerima? Namun, bukankah ini adalah cinta sendiri? Yang dipertahankan begitu tidak mampu menghargai.

“Ya Tuhan, aku sungguh lelah. Tapi aku ingin tetap bertahan. Aku tidak ingin waktuku beberapa tahun ini bersamanya menjadi sia-sia. Meskipun aku tahu, lebih baik aku segera melepaskan agar tidak semakin berat nantinya. Tapi, tidak bolehkah aku tetap berharap waktu kami tidak sia-sia? Maukah Engkau menunjukkan padaku sebuah kepastian antara aku dan dia?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sampai Ujung Dunia

Berubah Itu Menjadi yang Lebih Baik !

(Doa) Tertunda, Mencari Waktu yang Tepat