Batas Pertahanan


4 Februari 2013

Diam... sepi... sunyi...
Suara angin menemaniku malam ini. Jiwa yang belum tertidur di tengah malam. Suara nyamuk yang terdengar risih di telinga. Termenung dan berpikir. Ada sebuah usaha dalam diri. Usaha untuk menghilangkan bayangnya. Tapi tak mampu. Bertanrung... Terjatuh... Berdiri dan melawan lagi. Dan tertunduk lelah. Aku telah sampai pada ujung kelelahanku. Tapi aku tak mau menyerah. Aku akan mencoba dan terus mencoba. Meskipun di setiap usahaku selalu ada bayangnya yang ingin meruntuhkan kerja kerasku untuk meninggalkannya. Usaha untuk benar-benar meninggalkannya. Dan aku akan terus tegas pada situasi ini. Mengabaikan setiapa bayangannya. Tapi aku belum pernah berhasil untuk mengabaikan bayangannya.
Karena aku tetap saja melakukan kejujuran itu. Kejujuran atas perasaanku jika aku benar-benar sudah tak terlalu lelah. Karena aku masih ingin tahu kabar tentangnya. Apapun itu, sekecil permasalahan pun aku ingin tahu. Dan karena aku masih ingin mengetahui, mengerti, dan memahami bagaimana perasaannya padaku. Setiap aku mendapat sedikit berita atau informasi tentang perasaannya padaku,sedikit saja yang mungkin untuk orang lain itu tidak penting dan belum menunjukkan rahasianya tapi bagiku itu adalah salah satu petunjuk untukku akan rahasianya. Hatiku rasanya bergetar setiap mendengaar informasi sepele itu. Getaran yang menyakitkan, menyesakkan. Getaran yang benar-benar menginginkan jawaban atau balasan yang seimbang dengan perasaanku. Galau. Itulah inti dari perasaanku setiap aku mendapat berita yang membuat penasaran tentang apa rahasia yang dia simpan. Rahasia yang hanya dia simpan sendiri dalam hatinya. Terkunci rapat. Seandainya aku mendapatkan kunci itu.
Tapi kurasa aku tahu jawabannya. Dan itulah alasanku mengapa hatiku selalu sesak dan terasa sakit jika mendengarkan informasi itu. Karena jawaban itu selalu bertolak belakang dengan perasaanku dan dengan apa yang sebenarnya aku inginkan dari rentetan pertanyaan untuknya. Entah jawabannya itu jujur atau tidak.

Suara nyamuk semakin membisingkan telingaku di tengah malam yang gelap gulita ini. Di kamar. Tempat aku meluapkan segala wujud emosiku. Tetap berpikir dan tetap melawan bayangnya yang selalu mengikuti arah berimajinasiku. Tetap berusaha mengabaikan.
Termenung. Terdiam. Dan aku menemukan kesimpulan di malam ini. Inilah batas pertahananku. Aku telah sampai di ujung kemampuanku tapi belum pada ujung keberhasilan untuk meninggalkannya. Mungkin karena selama ini, disaat aku mulai membuat keputusan untuk berusaha meninggalkannya sampai malam ini aku tak pernah membohongi perasaanku. Setiap malam aku tetap jujur pada diriku sendiri tentang apa yang dirasakan hati ini kepadanya di hari itu. Jika masih ada perasaan itu, aku akan jujur. Jika aku tak merasakan cintaku untuknya di hati, aku akan mengatakan tak mengerti hati ini. Hatiku (masih) plin plan. Kejujuranku merusak segala usahaku untuk meninggalkannya. Seharusnya aku tetap melawan perasaanku ini.
Mengelak setiap rasa di hati untuk diucapkan yang sebenarnya tanpa harus memunafikkan diri. Misalnya dengan menjawab, aku tidak tahu perasaan ini. Seharusnya aku bisa. Karena aku pun lelah jika harus terus menerus jujur tentang perasaan ini kepada diri sendiri dan orang lain. Apakah aku salah jika aku jujur tentang perasaanku ini,Tuhan? Apa aku terlalu jujur sehingga aku selalu kalah melawan bayangnya dan melawan semua perasaanku? Apa yang harus aku lakukan? Atau apa aku harus memendam perasaanku sendiri dan menjadi gadis termunafik? Agar aku bisa memenangkan keputusanku. Keputusan untuk meninggalkannya. Lagi pula dengan aku jujur, tidak berdampak sedikit pun pada dirinya untuk membuka sedikit rahasia yang telah dia simpan. Dan tidak pula berdampak baik untukku. Untuk memenangkan keputusanku.

Malam ini aku menyadari sesuatu. Menyadari akan hasil yang aku dapat selama aku berusaha untuk meninggalkannya. Suatu batas. Batas pertahanan. Pertahananku pada keputusanku sendiri. Inilah batas kemampuanku akan hal itu. Aku tak sanggup lagi. Namun aku akan tetap bertahan. Tak akan kubiarkan tubuh ini terjatuh lagi. Tak akan. Meskipun aku sampai pada batas pertahananku, aku akan tetap bertahan. Tak akan jatuh. Tetap bertahan berdiri walaupun tak mampu melangkah. Disela waktu saat aku berdiri untuk bertahan, ada yang sedang aku lakukan. Mengumpulkan setumpuk kemampuan untuk melangkah lebih jauh lagi. Melangkah untuk mewujudkan keputusanku itu. Malam ini disaat aku menyadari batas kemampuanku, aku tidak menangis. Aku cukup mampu untuk menahan air mataku ini. Selaput air mata mulai memburamkan penglihatanku. Tapi tak akan aku biarkan air mata ini terjatuh. Karena jika air mata ini terjatuh, itu berarti tubuh ini juga ikut terjatuh. Inilah batas pertahananku. Tapi aku akan tetap melangkah. Mewujudkan keputusanku. Keputusan untuk meninggalkanmu. Meninggalkan semua tentangmu. Akan kucoba.

-NM19-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sampai Ujung Dunia

Berubah Itu Menjadi yang Lebih Baik !

(Doa) Tertunda, Mencari Waktu yang Tepat