Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2013

Sebuah Pintu

Dan saat aku lupa bagaimana cara jatuh cinta, bagaimana rasanya jatuh cinta... Aku terlalu menutup pintu hatiku untuk orang lain. Hanya karena aku menunggunya. Tapi saat itu kau hadir dengan sejuta caramu. Kau berusaha membuatku nyaman. tersenyum dan bahagia. Membuatku mampu melupakan luka. Hingga akhirnya aku merasakan bagaimana itu jatuh cinta. Tapi waktu telah merebutmu dariku. Kau pergi meninggalkanku begitu saja. Meninggalkan luka yang semakin dalam. Hingga akhirnya aku menutup pintu hatiku lagi. Hanya mengharapkanmu kembali mengetuk dan membuka pintu hatiku, lalu masuk kembali. Hingga akhirnya detik menjadi menit, jam, hari, minggu lalu bulan kemudian membentuk tahun... Seseorang yang selalu mengetuk pintu hatiku dan berharap ingin aku bukakan itu bukanlah kamu. Aku sama sekali tidak ingin membukanya! Karena aku rasa kunci pintu telah ikut bersamamu. Aku sadar bahwa menunggumu itu sama seperti sedang menunggu turunnya salju di negeri kita. Hingga akhirnya aku menemuk

Gadis dengan Harapan Semu

Aku... Aku adalah gadis munafik. Munafik pada perasaanku sendiri. Aku adalah gadis lemah. Lemah berhadapan dengaannya, dihadapan seseorang yang masih kuharapkan kehadirannya. Aku hanyalah gadis yang memiliki sebuah harapan. Sebuah harapan yang sebenarnya semu namun masih berharap. Aku adalah gadis yang selalu ingin tahu tentangnya. Tentang apa yang dia lakukan, tentang bagaimana kabarnya, tentang siapa yang ada di hatinya sekarang. Dan aku juga ingin tahu bagaimana perasaanya padaku. Karena aku adalah gadis yang bisa dibilang masih mencintainya, masih menunggunya, dan masih mengharapkannya. Meskipun aku sedikit ragu tentang ini. Sesungguhnya aku pun sulit untuk memahami perasaanku sendiri. Yang aku tahu, aku adalah gadis yang mencintainya dengan tulus. Aku ikuti setiap permainan hati ini. Sesakit apapun itu. Aku tidak terlalu memaksa diri untuk menjalankan keputusanku.  Tapi aku harus melakukan itu. Karena aku ingin bangkit. Aku ingin keluar dari keterpurukan ini. Tersera

Doakan Aku, Sayang

-memorize 12 Mei 2013- Layaknya sebuah film dokumenter, semua kenangan itu kembali menghampiriku. Tersusun rapi tanpa ada yang terlewat. Seakan masa-masa itu telah direncanakan untuk diambil gambar. Aku hanya mengikuti langkahku. Dengan jiwa yang menginginkan sebuah kedamaian. Kini aku mengahadang lautan. Berdiri sendiri di pesisir pantai. Seakan telah siap untuk mati demi sebuah kedamaian. Demi sebuah perasaan yang kuharapkan mampu berhenti tanpa sedikit usaha untuk melakukan itu. Demi sebuah senyuman yang mampu kubentuk di bibirku sendiri. Aku hanya ingin bebas. Bebas dari perasaan ini. Sangat menyakitkan karena harus memahaminya sendiri, yang sebenarnya tak mengerti apa yang kurasakan sendiri. Aku memandang lautan itu. Aku terbawa ke alam bawah sadarku, aku melamun. Tapi aku masih mendengar suara itu. Suara hantaman sang ombak pada karang. Hantaman yang sangat keras. Hingga partikel-partikel air laut menyentuh kulitku. Seandainya aku yang lemah ini adalah karang, mungkin ak

Harapan Sederhana

     Aku ingin berlari. Mendaki ke tempat yang tinggi, dan aku akan terjun dari ketinggian itu. Lalu berteriak sekencang-kencangnya. Kemudian membiarkan air mata yang sudah lama aku tahan untuk meneteskannya. Dan membiarkan butir-butir air mata ini terhempas oleh angin.     Berharap rasa sakit di dada ikut jatuh atau hilang dari tubuh terbawa oleh angin. Dan aku juga ingin meneriakkan namamu, mengatakan apa yang ingin aku katakan. Berharap angin mengirim kalimatku padamu melalui gelombangnya. Dan semoga angin mampu menghempas semua bayangmu dari pikiranku.       Dan setelah aku terjun dari ketinggian itu, aku mampu melupakan semua ini. Semua perasaanku padamu. Dan aku berharap tak ada lagi sakit yang kurasa setelah itu. Itu jika ada yang mau mengantarku ke ketinggian itu dan ada yang mau mendorongku dari ketinggian itu.       Bila aku masih merasakan sesak itu, aku ingin tidur. Tidur lama... Karena dengan tidur, aku tidak merasakannya, aku bisa lupa sejenak, dan semua bayangmu h

?

Gambar
Aku mulai berfikir dan mencari ide untuk harimu. Hari ulang tahunmu di tahun ini. Aku sudah menemukan sedikit demi sedikit ide-ide itu. Tapi aku ragu. Apakah aku harus membuatnya? Kado yang aku anggap special untukmu. Meskipun jika aku benar-benar membuatnya, mungkin aku tidak akan memberikanmu langsung. Mungkin cukup aku posting disini. Aku berpikir mungkin kamu semakin tidak menyukaiku karena aku terlalu berlebihan. Tapi ini salah satu bukti. Aku pernah menulis "Cinta itu butuh kekreativitasan". Dan aku rasa kamu baca itu. Dan kurasa kamu melihat salah satu foto kreatifitasku. Sebuah kertas jahit.  Sebuah keraguanku itu juga didasari oleh keputusanku saat itu. Untuk melupakan perasaanku ini padamu. Dan kurasa hari demi hari aku mulai bisa. Aku memang tidak terlalu memaksa diri untuk melupakan perasaan itu. Aku hanya mengikuti permainan hati ini. Terserah mau dibagaimanakan aku oleh perasaanku sendiri. Aku hanya berharap inilah yang terbaik dan aku berharap semoga kep

10 Mei 2013

Pagi ini lucu sekali buatku. Haha. Aku duduk di kantin sekolah menghadap masjid. Seperti biasa, mataku selalu mencari-cari dimana sosok itu. Haha dia lagi dia lagi. Capek juga ternyata. Tapi sudah menjadi kebiasaan bahkan mungkin sudah rutinitasku di setiap waktu. Aku mendapai sepatunya masih di sana. Di masjid. Ternyata dia belum kembali ke kelasnya. Aku fokuskan pandanganku ke arah dalam masjid. Tak terlihat sosoknya disana. Ah mungkin itu sepatu anak lain yang kebetulan sama. Aku tetap mendengarkan celotehan temanku pagi itu. Sambil aku meneliti ke dalam masjid, aku mendengarkan pengalamannya selama lomba kemarin. Dan tiba-tiba sosok itu terlihat. Dia ada. Lalu dia keluar dari dalam masjid, membuka pintu sambil tertawa riang bersama teman-temannya. Dia tepat sekali denganku. Lurus dengan posisi dudukku. Matanya terlihat sipit sekali ketika dia tertawa. Ah tawa itu... Seandainya... Ah pikiranku mulai melayang kemana-mana. Sepertinya dia melihatku. Tapi biarlah. Aku ikuti gerak-ger

09 Mei 2013

09 mei 2013 Kini aku ada di depan laptop. Jemariku sudah kuletakkan pada keyboard. Tapi aku bingung hendak menulis apalagi. Semua tentangmu selalu aku tulis dan sudah kutulis. Mungkin masih ada lagi yang ingin kutulis. Tentangmu. Masih banyak. Tapi apakah harus aku menulisnya terus-menerus? Sedangkan itu semua pasti akan sia-sia. Aku menulis tentangmu memang hanya ingin melampiaskan perasaanku padamu. Aku tahu, dengan aku menulis tentangmu sebanyak apapun itu, tak akan pernah kamu baca. Aku tahu kamu muak denganku. Ternyata aku sudah terlalu memvonis diriku sendiri.  Aku bingung. Aku ingin menulis tentangmu. Tapi jika aku selalu mengunkit ataupun menulis tentangmu, bagaimana bisa aku berhasil benar-benar melupakan semua perasaanku. Sedangkan aku, sudah mulai berhasil melupakan perasaan ini meskipun masih ada rasa sakit di dada ini. Aku tahu ini adalah proses. Perjalananku menuju masa depan masih panjang. Aku memang harus melihat ke depan. Tapi bayanganmu selalu hadir. Semua kenan

Isi Hati Kecil

Ini yang selalu aku tegaskan setiap saat ketika ada yang mengungkit tentangmu. :)) Mereka, kalian, dan mungkin kamu juga tahu tentang bagaimana perasaanku padamu. Tapi kalian tidak pernah memahami betul perasaan ini. Termasuk kamu. :)) Terlebih kamu. Ya, kurasa kamu memang cukup mendengar lewat telinga kanan keluar telinga kiri. Tidak masalah :)) Aku sudah terbiasa dan aku tau kamu tidak suka lagi padaku. Yang bisa memahami dan mengerti betul tentang perasaanku ini memang hanyalah Allah. Aku pun, yang memiliki perasaan ini saja tidak tau apa maksud dan keinginanku akan perasaanku sendiri. :)) Dan tentang perasaanmu padaku... Tidak ada yang pernah tau, dan tidak akan ada yang pernah tau tentang perasaanmu padaku termasuk aku. :)) Karena kamu memang tidak ingin membahas dan menceritakan sedikit pun kepada siapa pun termasuk temanmu sendiri. :) Aku tidak tau apa alasannya. Hanya Allah dan kamulah yang mengetahui bagaimana perasaanmu padaku. Tapi aku berharap, Allah mau mencer

(ter)vonis

Dan sejak saat itulah aku memvonis diriku sendiri. Memvonis diri sendiri sebagai gadis munafik. Sebelum itu, sudah ada yang memvonisku terlebih dahulu. Dia. Lelaki yang aku cintai, telah memvonisku demikian. Gadis munafik. Sangat keterlaluan, bukan? Tapi aku tidak membencinya setelah dia memvonisku seperti itu. Karena aku memang tidak bisa membencinya. Sedikit pun itu. Aku terlalu mencintainya. Dan aku menyadari akan vonis-nya itu. Tak lama setelah dia memvonisku, aku memvonis diriku sendiri. Bahwa aku, gadis munafik. Munafik karena sesuatu yang terkadang dianggap remeh namun sebenarnya diinginkan, yaitu cinta. Disisi lain aku biasa saja. Tapi terkadang, di belakangnya aku sangat berbeda. Aku masih mengharapkannya. Dia tidak hanya memvonisku. Tapi dia juga membenciku. Cintanya yang mekar untukku dulu, kini telah kering dan berguguran. Tak ada lagi cinta di hatinya untukku. Sedangkan aku, semakin mencintainya. Benar-benar payah. Kemunafikkan ini... hanya ingin menunjukkan k