Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Disembunyikan atau Tersembunyi?

(Part I) Apakah kau mencariku, hai cerita lama? Aku sedang bersembunyi. Sembunyi pada ruang yang ternyata tak bisa kau lihat sedikit pun. Mengapa? Karena aku telah terlupakan oleh kenangan mesin waktumu. Ya, terlupakan. Bukan tersisihkan dari kenangan-kenangan barumu. Aku (sudah) terlupakan. Seandainya yang telah terlupakan tetap bisa berkirim rindu. Melalui apa? Harapan? Angan? Mencari celah di ruangan 'terlupakan' berbeda dengan mencari celah di dalam ruangan 'tersisihkan'. (Part II) Oh salah, ternyata aku tidak hanya sembunyi. Namun aku telah tersembunyi. Terlupakan oleh mesin waktu dalam ingatannya. Aku telah tersembunyi. Terlupakan. Seandainya yang tersembunyi dan terlupakan mampu berkirim pesan. Namun, apalah aku yang hanya tersembunyi dan terlupakan. Harap pun tak memiliki akar untuk mampu tumbuh. Selamat malam. Salam rindu dari yang terlupakan.~ (Mei 2016)

Persimpangan Lain

Sudut matanya memancarkan rindu yang mati tertahan Harap yang terbunuh oleh ketidakpastian Duka dalam yang tersembunyi jauh di lubuk hati, tergantung tak berharap di ujung tawanya Harap seperti tak bernyawa tetap dia rawat Kenangan-kenangan itu seperti angin yang tak pernah diam, bergemuruh mengalir deras di setiap ingatan, menaburkan luka pada ladang yang gersang. Entah sampai kapan berhenti menipu diri Entah sampai kapan berhenti menyakiti hati sendiri. Kini saatnya beranjak membasuh air mata dan luka Menyaring semua pahit dan meninggalkannya Kini hati telah mampu, hati telah kuat dengan sendirinya Lelah hati yang tak membiarkan untuk mundur. Namun hanya perlu berbelok dan memilih persimpangan lainnya, kemudian cukup berkata "aku berhenti" lalu melangkah pada persimpangan baru~ (Juli 2016)

Penikmat Sastra

Aku ini hanya penikmat sastra.  Bagaimana bisa aku menikmati sastra tanpa adanya syair? Bagaimana bisa aku berhenti menulis tentangnya jika dia adalah syair bagiku. ~ (September 2016)

Berdamai dengan "Jenuh"

Percuma saja berusaha melawan kemudian membunuh "kejenuhan". Dia akan semakin kuat. Ternyata membunuhnya hanya cukup dengan membiarkan kejenuhan itu memeluk diri seerat yang dia inginkan. Dengan begitu, dia akan memudar sedikit demi sedikit. Semakin melawan, semakin berusaha untuk "semangat", semakin kuat kekuatan dia. Ternyata hanya cukup membiarkan dan berdamai dengannya. Mengikuti setiap alur "kejenuhan"nya. Sulit tidak sulit, mudah tidak mudah. Negatifnya ya bakalan lama matinya. Setiap orang akan mengalaminya. (Oktober 2016)

Berdirilah di Kaki Sendiri!

Dan dalam melangkah, banyak hal yang membuat diri tertarik terhadap berbagai hal tersebut, baik itu kondisi, pandangan, dan sebagainya. Hati-hati dalam percaya dan tertarik terhadap "sesuatu". Hingga akhirnya hanya langkahmu sendiri yang harus tetap kau lihat karena (terkadang) yang lain hanyalah bersifat sementara, ilusi, atau tipuan belaka. Kemudian memaksamu untuk sulit percaya pada semua hal yang akhirnya hanya pada (langkah) diri sendirilah kau percaya. Menunduk dan tetap menunduk. Berhati-hati untuk tidak tergoda pada segala hal yang berujung pada kekecewaan, sakit hati, atau bahkan pengkhianatan. Lebih baik tetap menatap ke bawah, menatap langkah sendiri, mendengarkan setiap bisikan hati, dan memastikan diri untuk tetap berdiri di kaki sendiri, memastikan dia tetap kokoh. Berpegang pada prinsip sendiri itu tidak mudah. Godaan berbagai hal akan semakin besar setiap satu langkahnya. Bertahan, bersabar, dan ikhlas. Pengkhianatan atau hal-hal besar lainnya akan d

Jangan Kalah!

Ketika dunia ini mencercamu dengan berbagai pengkhianatan hingga tak ada lagi orang yg bisa kau percaya, pulanglah. Kembalilah ke rumah, pulanglah (sejenak) hingga keberanianmu melawan berbagai pengkhianatan "hidup" itu kembali sembuh. Karena memang rumahlah tempat teraman dan terpercaya. Bertahanlah. Pulanglah kemudian kembalilah bertempur. Jangan kalah, jangan kalah, dan jangan kalah. Beranilah, dan beranilah. Bertahanlah, esok kau akan pulang. (3 Desember 2016)

Binatang Jalang?

Malam begitu larut, meninggalkan suara jangkrik, menemani bulan. Jalanan pun terlihat begitu kosong. Kemudian aku mendengar seorang pemuda yang berteriak lantang berkata Mereka bilang, manusiakah kami? Mereka bilang, hewan langka kah kami? Mereka hanya mampu melihat dan menilai dari luar, dari satu sudut pandang. Sekarang, siapa yang bukan manusia? Lebih baik kami dinilai seperti bukan manusia, karena memang itu konsekuensi kami. Bagaimana bisa dikatakan manusia jika mata tak terlelap selama dua hari, hati dan pikiran selalu diajak berperang dengan emosi dan keegoisan beberapa orang, tubuh tak berhenti bekerja demi untuk melakukan yang terbaik. Apalah kami yang penuh dengan dosa. Dan mereka para kritikus yang sungguh suci. Lagi dan lagi, kami selalu diinjak martabat dan harga diri. Tanpa sebuah pembelaan, kami hanya diam. Berharap mereka mampu membuka mata, menilai dari berbagai sudut pandang. Kami ini memang manusia penuh dosa, hanya mampu berusaha melakukan yang terb

Pantai Baru

Menemukan pantai baru (?) Siapa pantai baruku? Aku hanya berkelana, pergi meninggalkan rumah lama, mencari rumah baru. Bisa jadi pantai baruku adalah rumah baruku. Tidak ada yang tahu. Antara ya dan tidak untuk bermain ombak dengan pantai baru itu. Hanya saja pantai ini mampu meluluhkan kerasnya langkahku, kerasnya diriku. Ketika hati memilih, dia akan menjadi pemilik kekuatan terbesar, membelokkan langkah dengan sendirinya, mengalahkan logika apapun itu. Pantai itukah yang dipilih oleh hati(?) Entahlah~ (14 Desember 2016)

Tutup Kunjungan

Malam semakin menggigilkan hati, Begitu dingin. Udaranya membekukan secara paksa Ada rasa yang memaksaku untuk kembali berpuisi Rindu yang terpenjarakan, Ketidakberhak-an diri, Ketidakmampuan hati untuk memilih. Ada yang mengalahkan semuanya Sebuah ketidakyakinan, keraguan, dan ketakutan untuk "memulai kembali". "Pantai baruku menutup pintu masuk wisatanya. Dan membuat langkah ragu untuk berkunjung. Padahal aku sudah terlanjur basah bermain dengan ombaknya." (27 Desember 2016)

Gradasi Rindu

Dimana senjaku, dimana dia? Dimana inspirasiku, dimana dia meninggalkanku, dimana aku meninggalkannya? Kemana arah persimpangan itu? Mengapa begitu lama tak berjumpa, mengapa lama tak bertemu (lagi), mengapa tak kunjung bersatu (kembali)? Apa? Bukan, aku tidak berharap lagi. Harapanku mati kubunuh. Dia, mati kubungkam seorang diri di dalam hati. Persimpangan yang mana? Aku hanya harus bertemu dengannya, aku hanya harus bertanya satu hal, apa itu, penjelasan yang dia tunda. Penjelasan yang masih dia simpan. Aku, dia; kami telah mati. Mati di dalam sebuah cerita, cerita lama. Namun dia tetap hidup di setiap sajakku. Sedangkan aku, tak hidup dalam hidupnya, sajaknya pun tidak. Tapi sajak menghidupkanku, aku hidup dalam diriku sendiri. Dia hanyalah lembaran besar penuh aksaraku, hanya kumpulan sajak berbait-bait, yang akan rapuh dengan sendirinya. Rapuh oleh 'mati rasa' dari dalam diriku. Dan aku akan tetap berjalan; meninggalkan. Tanpa mencari

Pengingat Rindu

Teruntuk sahabat-sahabat di luar sana yang mulai menemukan zona baru, sahabat baru, teruntuk orang-orang yang pergi untuk menemukan jati diri, teruntuk orang-orang yang menemukan kehidupan dan kebahagiaan baru. [Pengingat Rindu] Terlihat begitu usang laci tua itu. Berdiri sendiri mengisi ruangan kosong, berpura-pura kokoh. Terkunci rapat karena karat. Udara lembab mengunci isi di dalamnya. Mesin masa lalu sudah tak bisa membuat kuncinya. Terbuang jauh oleh ruang waktu. Tersusun rapih kenangan di dalamnya. Laci tua yang usang, menyimpan berbagai kenangan, membekukan tawa dan tangis, aromanya begitu sendu, mengingatkan sesuatu; rindu yang rapuh dan hati yang telah lama patah. Laci tua yang usang, berisi penuh tawa, dialog-dialog lucu, berisi penuh harapan, harapan yang mulai tumbuh; pengingat rindu yang manis. Laci tua yang usang, berisi penuh penyesalan, berisi penuh harapan, harapan yang terpaksa mati; pengingat rindu yang pahit. Mungkin euforia dar

Mari Bertualang

Mari berlari di ruang luas, berlomba dengan aksara-aksara, berenang bersama kata, bermain dengan sajak, bersembunyi dalam bait. Takut, ketakutan apa yang kini kupeluk? Hanya sebuah buku usang tentang luka lama. Hanya sebuah file kadaluwarsa tentang hal-hal indah dan menyakitkan. Namun, berterabyte aplikasi terupdate tentang pelajaran hidup, pengkokohan diri, dan penguatan hati. Mari berpetualang. Mari menulis. Mari berpuisi. -sil- 📝(17.01.17)

Tanya Tanpa Jawaban

Barangkali aku tak perlu usang dalam tanda tanya. Barangkali aku tak perlu tua dalam menanti. Barangkali aku tak perlu setia mengulang pertanyaan berulang; pada diri sendiri dan sesuatu bahkan seseorang. Ada yang masih bersikeras bertahan, ada yang masih bersikeras menunggu meski berulang kali melepaskan; aku. Rahasia kekal, pertanyaan tanpa jawaban. "Apakah kau masih mencintaiku?" -sil- (2017)

Tulus(?)

Mengapa aku masih juga menunggu Hari hampir habis Menikam bermil rindu di antara jarak Dalam harapan yang semakin fatamorgana; patah hati. Sampai tak sempat bertanya Mengapa marah tiba-tiba reda waktu aku bertahan seorang diri Disana, dia berkelana meninggalkanku. -sil- (Maret 2017)

Setelah Menunda Berkali-kali

yang telah hilang, datang lagi;  menghentikan langkah, namun (mungkin) semua tidak lagi sama. Aku telah pergi setelah menunda berkali-kali.  Kau kembali sama seperti menundaku pergi untuk yang kesekian kali. Kembalilah jika memang kini kau kembali; aku hanya akan menyapamu. Karena tidak mudah bagiku memiliki sesuatu yang sama lagi. Masanya sudah berbeda. Tidak melihat ke belakang adalah hal paling berani, namun nyatanya aku masih menyapa ke belakang; ke arahmu. Bukan berarti aku berputar balik. Kini aku berbeda. Waktu dan diriku sendiri telah membawa pergi jauh dari masamu. Tidakkah terlampau lama membiarkanmu tidak sadar bahwa ada hal yang belum terselesaikan? Namun kini semua sungguh sangat berbeda; kau dan aku. Kita berbeda. (3 Agustus 2017)

Perpisahan Halus

Mulai saat itu, aku tidak suka mengantarkan; dia identik dengan perpisahan. Sedangkan aku, benci perpisahan. Meski bersifat sementara, bukankah tidak ada yang tau itu sementara  atau tidak. Karena perpisahan sama seperti menanam bibit rindu yang membuat candu~ Ah, hati-hati dengan satu kata itu; R-i-n-d-u. Apalagi rindu sendiri,  berat. (Malang, 2 Februari 2018).

Pecandu Bertualang

Bagi para pecandu tualang, bertualang adalah hal yang membuat tidak pernah letih. Meskipun di setiap petualangan memberikan rasa pahit, namun selalu manis jika diingat dan disyukuri. Bukankah banyak hal yang dapat dipelajari dari bertualang? Bahkan hal kecil pun. Para petualang itu adalah manusia-manusia yang tidak pernah puas. Menurut saya, mereka adalah manusia-manusia yang selalu haus dengan tantangan liar. Bagi mereka, petualangan adalah sebuah tantangan dalam pengembangan diri. Manusia yang haus terhadap pengembangan diri, dia akan selalu menantang dirinya sendiri untuk mencoba segala sesuatu, entah itu dengan menciptakan kesempatannya sendiri, memanfaatkan kesempatan yang ada, atau memaksimalkan kesempatan yang ditawarkan pada dirinya. Bahkan dengan kesempatan yang sama, baginya itu adalah tantangan yang baru dan pasti berbeda. Meskipun itu dia tidak tau itu seperti apa yang akan dia lakukan nanti dan bagaimana, semua akan terjawab jika tantangan itu diterima da